Permasalahan Stunting Masih Jadi Tantangan di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Permasalahan stunting atau perawakan pendek pada anak akibat malnutrisi kronis masih menjadi tantangan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, prevalensi balita stunting di 2018 mencapai 30,8 persen, ini artinya 1 dari 3 balita mengalami stunting.
Indonesia juga saat ini merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi kedua di kawasan Asia Tenggara dan kelima di tingkat dunia. Beranjak dari kondisi tersebut, Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) kembali melaksanakan rangkaian seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) sebagai upaya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peran gizi dalam penanganan stunting.
Seminar GUB telah dilaksanakan sejak 2012, dan tahun ini mengangkat tema "Kontribusi dan Keterlibatan Stakeholders dalam Penurunan Stunting" untuk mendorong terciptanya kerjasama lintas sektor dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting melalui intervensi gizi spesifik.
Dalam sambutannya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diwakili Dr. Entos Zainal mengungkapkan bahwa stunting mengakibatkan kerugian negara setara Rp4 trilin per tahun atau sebesar 3 persen dari PDB. Alhasil, percepatan penangangan stunting tetap menjadi salah agenda besar pemerintah ke depan.
"Untuk mencapai target capaian prevalensi stunting sebesar 19 persen di 2024 tentunya bukan tugas yang mudah. Untuk itu dibutuhkan terobosan, inovasi dan kerjasama lintas sektor termasuk kerjasama dengan akademisi dan pihak swasta untuk segera menangani hal ini secara konkrit," paparnya.
Kondisi stunting akan berdampak serius bagi kesehatan anak, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek meliputi perkembangan tubuh anak yang terhambat, performa anak yang menurun di sekolah, peningkatan angka kesakitan dan risiko kematian.
Sedangkan untuk dampak jangka panjang dari stunting yaitu obesitas, peningkatan risiko penyakit tidak menular, bentuk tubuh pendek saat dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang.
"Stunting hanya bisa teratasi selama periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun dan masa dimana otak anak berkembang pesat," ungkap Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM, Prof. Dr. dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K).
"ASI eksklusif penting diberikan selama 6 bulan pertama dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun. Pada tahap pemberian makanan pendamping ASI, orang tua harus memperhatikan pola asupan gizi yang seimbang, terutama untuk memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi dan protein hewani," lanjutnya.
Prof. Damayanti bersama Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengembangkan pilot project Aksi Cegah Stunting di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hasil inisiatif tersebut menunjukkan penurunan prevalensi stunting sebesar 8,4 persen dalam 6 bulan dari 41,5 persen menjadi 33,1 persen atau mencapai 4,3 kali lipat dari target tahunan WHO.
Dalam pilot project tersebut, pendekatan intervensi gizi spesifik dilakukan dalam beberapa fokus, termasuk melakukan training kepada tenaga kesehatan dan kader posyandu, mengembangkan sistem rujukan berjenjang untuk balita stunting dan beresiko stunting, dan implementasi tata laksana stunting oleh Dokter Spesialis Anak dengan pengawasan yang dibantu dokter Puskesmas, tenaga gizi Puskesmas dan bidan desa.
Dalam pencegahan stunting, pemantauan status gizi dan antopometri anak perlu dilakukan secara berkala. Deteksi dini status gizi balita dilakukan secara berjenjang mulai dari Posyandu, Puskesmas hingga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Apabila di Posyandu ditemukan anak dengan berat badan atau tinggi badan < -2 SD, maka perlu dirujuk ke Puskesmas.
Pada saat yang sama, Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) mengutarakan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani yaitu telur dan susu, karena memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak.
Indonesia juga saat ini merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi kedua di kawasan Asia Tenggara dan kelima di tingkat dunia. Beranjak dari kondisi tersebut, Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) kembali melaksanakan rangkaian seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) sebagai upaya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peran gizi dalam penanganan stunting.
Seminar GUB telah dilaksanakan sejak 2012, dan tahun ini mengangkat tema "Kontribusi dan Keterlibatan Stakeholders dalam Penurunan Stunting" untuk mendorong terciptanya kerjasama lintas sektor dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting melalui intervensi gizi spesifik.
Dalam sambutannya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diwakili Dr. Entos Zainal mengungkapkan bahwa stunting mengakibatkan kerugian negara setara Rp4 trilin per tahun atau sebesar 3 persen dari PDB. Alhasil, percepatan penangangan stunting tetap menjadi salah agenda besar pemerintah ke depan.
"Untuk mencapai target capaian prevalensi stunting sebesar 19 persen di 2024 tentunya bukan tugas yang mudah. Untuk itu dibutuhkan terobosan, inovasi dan kerjasama lintas sektor termasuk kerjasama dengan akademisi dan pihak swasta untuk segera menangani hal ini secara konkrit," paparnya.
Kondisi stunting akan berdampak serius bagi kesehatan anak, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek meliputi perkembangan tubuh anak yang terhambat, performa anak yang menurun di sekolah, peningkatan angka kesakitan dan risiko kematian.
Sedangkan untuk dampak jangka panjang dari stunting yaitu obesitas, peningkatan risiko penyakit tidak menular, bentuk tubuh pendek saat dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang.
"Stunting hanya bisa teratasi selama periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun dan masa dimana otak anak berkembang pesat," ungkap Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM, Prof. Dr. dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K).
"ASI eksklusif penting diberikan selama 6 bulan pertama dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun. Pada tahap pemberian makanan pendamping ASI, orang tua harus memperhatikan pola asupan gizi yang seimbang, terutama untuk memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi dan protein hewani," lanjutnya.
Prof. Damayanti bersama Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengembangkan pilot project Aksi Cegah Stunting di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hasil inisiatif tersebut menunjukkan penurunan prevalensi stunting sebesar 8,4 persen dalam 6 bulan dari 41,5 persen menjadi 33,1 persen atau mencapai 4,3 kali lipat dari target tahunan WHO.
Dalam pilot project tersebut, pendekatan intervensi gizi spesifik dilakukan dalam beberapa fokus, termasuk melakukan training kepada tenaga kesehatan dan kader posyandu, mengembangkan sistem rujukan berjenjang untuk balita stunting dan beresiko stunting, dan implementasi tata laksana stunting oleh Dokter Spesialis Anak dengan pengawasan yang dibantu dokter Puskesmas, tenaga gizi Puskesmas dan bidan desa.
Dalam pencegahan stunting, pemantauan status gizi dan antopometri anak perlu dilakukan secara berkala. Deteksi dini status gizi balita dilakukan secara berjenjang mulai dari Posyandu, Puskesmas hingga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Apabila di Posyandu ditemukan anak dengan berat badan atau tinggi badan < -2 SD, maka perlu dirujuk ke Puskesmas.
Pada saat yang sama, Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) mengutarakan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani yaitu telur dan susu, karena memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak.
(nug)